Siswa MA Tarbiyatul Banin Buat Film Dokumenter Manuskrip Kalongan untuk Pelestarian
- account_circle Harian NU
- calendar_month Sen, 25 Agu 2025
- visibility 26
- comment 0 komentar

Siswa MA Tarbiyatul Banin Buat Film Dokumenter Manuskrip Kalongan untuk Pelestarian
“Upaya siswa MA Tarbiyatul Banin mengangkat manuskrip Kalongan ke layar dokumenter dianggap sebagai langkah pelestarian warisan kuno yang cerdas. Manuskrip yang awalnya hanya tersimpan dalam lemari keluarga pewaris kini bertransformasi menjadi produk digital, sekaligus ikon cagar budaya lokal yang bisa diwariskan lintas generasi.”
Pati – Salsabila Azzahra, siswa Madrasah Aliyah (MA) Tarbiyatul Banin, Desa Pekalongan, Kecamatan Winong, Pati, punya cara unik melestarikan warisan kuno. Dengan dibantu tim, Meutia Ayu Safitri, Mutiara Alfita Sari, dan Fikri Hadi Mahmudan, mereka membuat film dokumenter tentang Manuskrip Kalongan, naskah fiqih-sufistik warisan ulama lokal yang berusia ratusan tahun.
Langkah ini disebut sebagai cara kreatif generasi muda pesantren menjaga warisan sekaligus mengenalkan manuskrip ke publik di era digital.
Naskah Rapuh, Isi Tetap Relevan
Manuskrip Kalongan adalah bagian dari tiga naskah kuno di Desa Pekalongan. Selain manuskrip Syathoriyah dan Al-Qur’an tulisan tangan ulama alumnus Baghdad, ada naskah fiqih-sufistik yang banyak bicara tentang syariat, thariqah, haqiqah, hingga ma’rifah.
Walau kondisi fisik naskah sudah lusuh dan sebagian huruf hilang, isinya masih bisa dibaca. Keluarga pewaris hingga kini tetap merawatnya dengan baik.
Dari manuskrip ini, saya kira apa yang dilakukan siswa MA Tarbiyatul Banin itu, jelas terlihat bahwa ilmu pada masa lalu bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi juga membentuk akhlak dan kepribadian,” ungkap KH. Ubaidillah Achmad Taman Munji, Dosen UIN Semarang sekaligus peneliti Manuskrip Pesantren saat dihubungi melalui telepon.
Sumber: Dokumen milik Salsabila Azzahra, tahun 2025
Jejak Pendidikan dan Perlawanan
Sejarah manuskrip Kalongan juga tak terpisahkan dari lahirnya lembaga pendidikan Islam di Pekalongan Winong. Pada tahun 1930 KH Anwar beserta rombongan mendatangi KH. Ismail Zainal Abidin di desa pelakongan yang belum ada masdrasah dan masjidnya. Tidak lama kemudian madrasah Far’iyah Matholiul Falah berdiri. Guru-gurunya dikirim dari Kajen antara lain KH. Sanadji, KH.Fahrur Rozi dan dibantu guru-guru lokal lainnya.
Namun, sekolah itu ditutup oleh pemerintah Hindia Belanda karena dianggap bagian dari gerakan anti-kolonial. Pendidikan Islam kembali ke surau-surau.
Saat pendudukan Jepang, tepatnya pada tahun 1943, sekolah dibuka lagi dengan nama Tarbiyatul Banin. Nama ini lalu bertahan hingga sekarang sebagai lembaga pendidikan Islam di desa tersebut.
Manuskrip Jadi Cagar Budaya Digital
Lewat dokumenter buatan siswa MA Tarbiyatul Banin, manuskrip Kalongan kini muncul dengan wajah baru. Film tersebut memuat wawancara tokoh masyarakat, akademisi, hingga pewaris naskah, sekaligus memperlihatkan nilai-nilai sufistik yang relevan dengan masa kini.
“Fiqh itu fleksibel, bisa mengikuti zaman. Dengan dokumenter ini, metode lama seperti ngaji kitab kuning bisa disambungkan dengan cara belajar digital,” respon Roiyan Roiyyanallillah selaku Guru PAI MA Tarbiyatul Banin saat ditanya tentang film dokumenter dengan model pembelajaran fiqih di masrasah.
Generasi Muda Urun Peran
Film dokumenter menjadi cara generasi muda melestarikan khazanah keilmuan ulama sekaligus menjadikannya produk budaya. Proses ini mengubah manuskrip dari sekadar naskah kertas menjadi memori digital yang bisa diakses kapan saja.
“Bukti bahwa tradisi ulama Pekalongan masih hidup sampai sekarang ada di manuskrip ini. Dan generasi muda berhasil menghadirkannya kembali dalam bentuk modern,” tutur Dhofir Maqosith, selaku Ketua MWC NU Kecamatan Winong.
- Penulis: Harian NU